ALIRAN-ALIRAN DALAM KESUSASTRAAN
Aliran-aliran dalam kesusastraan memiliki
kesamaan dengan aliran dalam kesenian yang lain, misalnya dalam seni lukis,
seni drama, bahkan dalam dunia filsafat dan kehidupan sosial. Aliran dalam
kesusastraan berhubungan erat dengan pandangan hidup dan kejiwaan pengarang dan
penyair, serta biasanya terekspresikan dalam karya-karya mereka. Artinya, kita
memasukkan seorang sastrawan/sastrawati ke dalam aliran tertentu,
hendaknya berdasarkan buah cipta mereka. Dengan demikian, seorang pengarang
bisa dimasukkan ke dalam beberapa aliran, karena corak karyanya yang
bermacam-macam. Sementara itu, sebuah novel, cerpen, puisi atau teks
drama bisa dijadikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa seorang pengarang
menganut beberapa aliran.
Ambillah contoh “Nyanyi Sunyi” karya Amir
Hamzah, “Ziarah”, “Merahnya Merah”, dan “Kering” karya Iwan Simatupang,
“Gadlob” dan “Adam Makrifat” karya Danarto, “Harimau! Harimau!”, “Jalan Tak Ada
Ujung” dan “Maut dan Cinta” karya Muchtar Lubis. Antologi puisi “Nyanyi Sunyi”
bisa digunakan contoh untuk romantisme, mistisme, atau religiusme, tiga novel
Iwan yang tadi telah disebut untuk absurdisme dan eksistensialisme, karya-karya
Danarto untuk mistisisme, simbolisme dan absurdisme, karya-karya Muchtar Lubis
untuk idealisme, humanisme, psikolonialisme.
Aoh. K.Hadimadja dalam bukunya
“Aliran-aliran Klasik Romantik, dan Realisme dalam Kesusastraan” mengatakan
bahwa “aliran itu tidak lain daripada keyakinan yang dianut golongan-golongan
pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama.
Adakalanya para penganut aliran yang sama tidak sepaham benar-benar, akan
tetapi pada dasarnya mereka tidak bertentangan, dan ciri-cirinya pengarang
membawa pembawaan dan kepribadian yang khas atau ada seorang karena ciri-ciri
yang umum itu, mereka dapat digolongkan ke dalam aliran tertentu”.
Sementara itu H.B. Jassin dalam bukunya
“Tifa Penyair dan Daerahnya” menyatakan bahwa aliran dalam sastra dapat “
mengenai cara pengucapan daripada isi yang diucapkan, “ tetapi “ ada pula
aliran-aliran yang menyatakan isi“.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita
pahami bahwa aliran dalam sastra sebenarnya berpangkal pada kesadaran sastrawan
untuk menentang paham atau aliran sebelumnya. Perlawanan menentang paham atau
aliran lama itu diwujudkan dalam bentuk ciptaan yang menunjukkan ciri lain
daripada yang ada sebelumnya. Ingatkah Anda pada kumpulan sanjak “Tiga Menguak
Takdir”? Kumpulan sajak itu sebenarnya merupakan bukti perlawanan kelompok
penyair muda (Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani) terhadap Sutan Takdir
Alisjahbana. Perlawanan itu bertolak dari konsepsi kesenian yang berbeda antara
dua kelompok sastrawan itu (Pujangga Baru versus Angkatan ‘45).
Di Indonesia sebenarnya adanya aliran yang
secara sadar diperjuangkan untuk menentang paham atau aliran sebelumnya belum
banyak terjadi. Hal ini salah satu di antaranya disebabkan oleh usia sejarah
sastra Indonesia yang belum begitu lama.
Salah satu indikator (petunjuk) adanya
golongan yang menentang kelompok sastrawan sebelumnya adalah : adanya suatu
manifestasi yang menyatakan pendirian kelompok itu dalam memperjuangkan
gagasan-gagasan barunya. Angkatan ‘45 misalnya dengan manifestasi yang
tercantum pada “ Surat Kepercayaan Gelanggang “ menyatakan pendirian kelompok
tersebut, yang berbeda pendirian dari kelompok sastrawan Pujangga Baru,
sementara
itu
“ Manifes Kebudayaan “ (17 agustus 1963) lebih banyak merupakan sikap politik
dari sastrawan kelompok bebas (Manifes) terhadap sastrawan Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), daripada pernyataan melawan kelompok sastrawan generasi
sebelumnya. Hal ini disebabkan sastrawan kelompok Manifes dan kelompok Lekra
hidup sezaman.
Berikut ini akan kita pelajari beberapa
aliran dalam sastra. Hendaknya dipahami bahwa aliran-aliran yang disebutkan di
sini tidak menjamin bahwa sastrawannya secara sadar ingin memperjuangkan
gagasan-gagasan aliran, dengan konsep atau pengertian aliran. Dapat kita
indentifikasi karya sastra tertentu termasuk ke dalam kategori aliran sastra
tertentu. Hendaknya kita sadari bahwa masalah aliran ini bukan merupakan
monopoli bidang sastra. Aliran-aliran itu dapat berlaku dalam bidang seni
lainnya, terutama pada seni lukis. Demikianlah jika kita berbicara tentang
aliran realisme, maka aliran itu tidak hanya khusus berlaku pada sastra, tetapi
juga berlaku pada seni lukis. Penjelasan berikut ini tidak berdasarkan pada
urutan sejarah kelahirannya.
REALISME
Aliran ini mengutamakan realitas
kehidupan. Sastra realis merupakan kutub seberang dari sastra imajis. Apa yang
diungkapkan para pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah
terjadi, bukan imajinatif belaka. Biografi, otobiografi, true-story, album
kisah nyata, roman sejarah, bisa kita masukkan ke sini. Sastra realis juga
berbeda dengan berita surat kabar atau laporan kejadian, karena ia tidak
semata-mata realistik. Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar
imajinasi dan plastis bahasa yang memikat.
Novel “Fatimah“ karya Titie Said, “Rindu
Ibu adalah Rinduku” karya Motinggo Boesye, “Bilik-bilik Muhammad” karya
A.R.Baswedan, skenario “Arie Anggara“ karya Arswendo Atmowiloto, novel
biografis “Pangeran dari Seberang“ karya N.H.Dini tentang Amir Hamzah, novel
“Dari Hari ke Hari“ Mahbub Junaidi, “ Guruku Orang Pesantren “ Syaifuddin Zuhri
merupakan sekadar contoh sastra realis ini. Ia berusaha berjujur terhadap
kenyataan, tetapi hal-hal yang peka, diungkapkan dengan cukup etis dan sublim.
M.H. Abrams dalam kamusnya “ Glossary of
Literary Terms “ menyebutkan bahwa realisme digunakan dalam 2 pengertian :
a. Untuk mengidentifikasi gerakan sastra
pada abad XIX, khususnya prosa fiksi.
b. Menunjukkan cara penggambaran kehidupan
di dalam sastra. Fiksi realistik sering dioposisikan dengan fiksi romantik. Di
dalam romantik disajikan kehidupan yang lebih indah, lebih berani mengambil
resiko, dan lebih heroik, dari pada yang nyata.
SURREALISME
Aliran yang terlalu mengagungkan kebebasan
kreatif dan berimajinasi sehingga hasil yang dicapai menjadi antilogika dan
antirealitas. Bisa jadi apa yang terungkap itu pada mulanya berangkat dari
kenyataan sekitar, tetapi karena desain imajinasinya itu sudah demikian sarat,
kuat dan jauh, ia terasa ekstrim dan radikal. Ada semacam keadaan trans
(hanyut/kesurupan) di sana, sesuatu yang tidak kita temukan dalam realisme maupun
naturalisme.
Surrealisme lebih dekat terhadap
absurdisme daripada terhadap realisme. Dari sisi tertentu sanjak-sanjak Rendra
“ Khotbah “, “ Nyanyian Angsa
“, “
Mencari Bapa “, cerpen-cerpen Danarto “ Godlob “, “ Kecubung Pengasihan “, “
Rintrik “, “ Sanu, Infinita Kembar “ Motenggo Boesye bisa ditunjuk sebagai
contoh surrealisme.
Surrealisme merupakan gerakan di kalangan
pengarang dan pelukis di Perancis, yang dimulai sekitar tahun 1920 an. Gerakan
ini menghendaki adanya kebebasan dalam kreativitas artistik, mengungkapkan
bawah sadar dengan imaji-imaji tanpa adanya urutan atau koherensi (seperti di
dalam mimpi), membebaskan diri dari alasan yang logis, standar moralitas,
konvensi dan norma-norma sosial dan artistik.
Surrealisme dapat diartikan sebagai
melebihi realisme, karena surrealisme juga mengagung-agungkan asosiasi yang
bebas serta penulisan secara otomatis, fantasi yang tak terkendali serta
asosiasi yang bebas mewakili suatu dunia yang lebih realistis daripada
kenyataan yang riil. Surrealisme mencoba mengeksploatasi materi-materi di dalam
mimpi, keadaan jiwa antara tidur dan jaga, dan menyerahkan penafsirannya kepada
pembaca.
H.B. Jassin menyatakan bahwa “Surrealisme
menghendaki keseluruhan dan kesewaktuan…Sebab itu hasil kesusastraan surrealisme
jadi sukar untuk menurutkannya, logika hilang, alam benda dan alam pikiran dan
angan-angan bercampur baur dalam keseluruhan dan kesewaktuan.
ABSURDISME
Aliran dalam kesusastraan yang menonjolkan
hal-hal yang di luar jalur logika, satu kehidupan dan bentang peristiwa
imajinatif, dari alam bawah sadar, suasan trans. Pengarang aliran ini punya
kesan mengada-ada, sengaja menyimpang dari konvensi kehidupan dan pola
penulisan, tetapi pada super starnya, nampak kuat kebaruan dan kesegaran
kreativitas mereka, bahkan kegeniusan mereka. Umumnya, mereka ini pernah pula
sukses sebagai pengarang konvensional, sebagaimana para pelukis abstrak yang
sempat meroket dan malang melintang di langit dunia mereka, bukan sunyi dari
penciptaan lukisan-lukisan naturalis. Dramawan kontemporer/absurd yang
tersohor, misalnya Putu Wijaya, N. Riantiarno dan Arifin C. Noer, juga punya
seabrek karya konvensional.
Di langit sastra Indonesia, absurdisme
sudah memancar dan mendarah daging pada karya-karya Iwan Simatupang di dasawarsa
60 an, baik dalam dramanya “ Petang di Sebuah Taman “, dan “ RT 0 RW 0 “,
cerpen-cerpennya yang terakit dalam “ Tegak Lurus dengan Langit “, maupun dalam
empat novel monumentalnya : “ Kering “, “ Merahnya Merah “, “ Ziarah “, “
Koooong “. Ternyata, kehidupan yang serba mungkin dan dirias renda-renda
absurditas ini banyak mengilhami lahirnya sastra absurd, sebagai bisa
diciptakan oleh penyair Sutarji Calzoum Bachri dalam “ O Amuk Kapak
“, “ Yudhistira Ardi Noegraha dalam “ Omong Kosong “, dan “ Sajak Sikat Gigi “,
serta oleh Ibrahim Sattah dan Sides Sudiarto Ds. dalam sanjak-sanjak
mereka, oleh pengarang Budi Darma dalam kumcerpen “ Orang-orang Bloomington” “,
oleh Putu Wijaya dalam karya-karya sastranya “ Telegram “, “ Stasiun “, “ Lho
“, “ Keok “, “ Sobat “, “ Gres “, di samping drama-dramanya “ Anu “, “ Dag Dig
Dug “, “ Aduh “, “ Zat “, oleh Arifin C. Noer dalam “ Kapai-kapai “, “
Mega-mega “, “ Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi “, oleh N. Riantarno dalam
“ Bom Waktu “, “ Opera Kecoak “ dan naskah saduran “ Perempuan-perempuan
Parlemen “.
PSIKOLOGISME
Aliran yang mengutamakan pembahasan
masalah kejiwaan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam
novel, suasana jiwa dan konflik batin para pelaku disoroti dengan tajam, detail
dan mendalam. “ Belenggu” Armijn Pane, “ Atheis “ Achdiat Kartamiharja, “ Royan
Revolusi “ dan “ Kemelut hidup “ Ramadhan K.H., “ Damai dalam Badai “ dan “
Cintaku Selalu Padamu “ Motenggo Boesye, “ Bila Malam Bertambah Malam “ Putu
Wijaya, novel-novel N.H. Dini, Titie Said, La Rose, Ike Supomo, Marga T.,
Ashadi Siregar, Ahmad Tohari, bisa disebut sebagai novel psikologi.
ALIRAN ROMANTIK
Sastra romantik ditandai dengan ciri-ciri
: keinginan untuk kembali ke tengah alam, kembali kepada sifat-sifat yang asli,
alam yang belum tersentuh dan terjamah tangan-tangan manusia. Istilah ini juga
mencakup ciri-ciri adanya : keterpencilan, kesedihan, kemurungan, dan
kegelisahan yang hebat. Kecuali itu romantik juga cenderung untuk kembali
kepada zaman yang sudah menjadi sejarah, masa lampau yang terkadang melahirkan
manusia-manusia besar. Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan
percintaan yang asyik dunia muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak
pengalaman. Tokoh-tokoh dalam fiksi romantik sering digambarkan dengan sangat
dikuasai oleh perasaannya dalam merumuskan segala persoalan. Dikisahkan juga
tokoh-tokoh yang tak tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam. Mereka itu
kemudian ada yang lari kegunung atau tempat terpencil lainnya yang dirasakannya
jauh dari kekerasan hidup.
Aoh K. Hadimadja menyatakan bahwa salah
satu ciri alam romantik tokoh-tokohnya suka membunuh diri, karena terlalu kuat
dihinggapi perasaan.
Romantisme, aliran yang mementingkan
curahan perasaan yang indah dan menggetarkan yang diungkapkan dalam estetika
diksi dan gaya bahasa yang mendayu-dayu membuai sukma. Contoh : puisi-puisi
Amir Hamzah “ Buah Rindu“, “ Karena Kasihmu “, “ Memuji Dikau “, “ Mengawan “,
“ Do’a “, karya-karya Hamka “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijk “, “ Di Bawah Lindungan
Ka’bah “, “ Di dalam Lembah Kehidupan “, roman “ Upacara “ dan kumpulan sanjak
“ Nyanyian Ibadah “ nya Korrie Layun Rampan, kumpulan
sanjak
“ Romance Perjalanan “ Kirjomulyo, “ Buku Puisi “ nya Hartoyo Andangjaya.
EKSISTENSIALISME
Liaw Yock Fang dalam bukunya “Ikhtisar
Kritik Sastra” menyatakan bahwa “Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
kemudian menjadi landasan suatu aliran sastra.”
Ajaran yang pokok dari eksistensialisme
ialah bahwa manusia adalah apa yang diciptakannya sendiri. Manusia tidak
ditakdirkan oleh Tuhan. Jika ia menolak memilih atau membiarkan dirinya
dipengaruhi oleh kekuatan luar, itu adalah kesalahannya sendiri. Karena itu,
karya sastra eksistensialisme sangat mementingkan perbuatan –termasuk perbuatan
kemauan- sebagai unsur-unsur yang menentukan. Unsur-unsur dasar dari manusia
seperti irrasionalitas, ketidak sadaran dan kebawahsadaran juga dipentingkan.
Kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, yang terus mengalir sedangkan
kehidupan manusia adalah rentetan saat-saat yang berurutan”.
Fuad Hasan dalam bukunya “Berkenalan
dengan Eksistensialisme” mencoba memprkenalkan suatu alam pikiran yang dewasa
ini dikenal dengan nama eksistensialisme, dengan membutiri pendapat filsuf
eksistensialis melalui hasil-hasil karya sastranya. Beberapa pikiran tokoh
eksistensialisme itu dikutipkan berikut ini :
Manusia adalah pengambil keputusan dalam
eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya tak pernah ia mantap sempurna
(Kiergaard).
Manusia akan terus menerus dihadapkan pada
pilihan-pilihan (Kiergaard).
Dalam hidup ini yang kuatlah yang akan
menang, maka kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan, apa yang baik,
harus kuat ; sebaliknya segala yang lemah adalah buruk dan salah (Niezseche).
Dalam pergaulan antara manusia maka yang
harus ditumbuhkan dalam manusia-manusia agung yaitu manusia yang oleh kekuatan
tak bisa mengatasi kumpulan manusia-manusia dalam massa (Nietzseche).
FILSAFATISME
Aliran yang mengedapankan hadirnya
nilai-nilai filsafati, suatu pemikiran mendalam makna hidup, yang biasanya
berangkat dari penghayatan personal. Para pengarang dan penyair yang
karya-karyanya kental berkadar filsafat disebut pujangga. Tidak sedikit di
antara mereka sekaligus filsuf.
Dari R.A. Kartini, R. Ng. Ronggowarsito,
Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, Frans Kafka, Iwan Simatupang, Subagio
Sastrowardoyo, Putu Wijaya, Emha Ainun Najib, banyak terlahir sastra filosofis.
Sastra filosofis ada yang berkadar
humanis, adapula yang religius. Di sisi lain kita temukan spiritualisme, aliran
yang mementingkan nilai-nilai ruhani, kehidupan batiniah, yang menuju kebajikan
dan kesempurnaan. Spiritualisme berbeda dengan psikologisme, karena
spiritualisme sudah mengacu ke moral luhur, sedang psikologisme membahas
kehidupan dari segi jiwanya, lepas dari masalah atau tanpa keharusan
penyampaian-penyampaian nilai-nilai dan akhlak mulia.
Sanjak-sanjak ruhani bisa merupakan bagian
dari filsafatisme, di samping ia sendiri merupakan perwujudan spiritualisme.
Filsafatisme bisa berangkat dari pikiran, bisa pula diilhami wahyu atau
mewujudkan renungan hati nurani. Contoh-contoh di bawah ini bisa dimasukkan ke
dalam filsafatisme, tetapi juga benar untuk dimasukkan ke dalam spritualisme.
EKSPRESIONISME DAN IMPRESIONISME
M.H. Abrams menyatakan bahwa ekspresionisme
adalah gerakan dalam sastra dan seni di Jerman yang mencapai puncaknya pada
periode 1910 – 1952. Para pelopornya seniman dan pengarang yang dengan bermacam
cara menyimpang dari penggambaran yang realistik tentang kehidupan dan dunia.
Mereka mengekspresikan pandangan seni mereka atau emosi secara kuat.
Ekspresionisme tidak pernah merupakan suatu gerakan yang dirancang secara baik.
Dapat dikatakan bahwa ciri utama ekspresionisme adalah pemberontakan melawan
tradisi realisme dalam bidang sastra dan seni, baik dalam hal pokok
persoalannya (subyect matter) maupun gayanya (style).
A.F. Scott dalam kamusnya Current Literary
Terms A Concis Dictionary menyatakan bahwa impresionisme merupakan cara menulis
karangan yang tidak memperlakukan realitas secara obyektif, tetapi menyajikan
kesan-kesan (impressions) dari pengarangnya. Istilah impressionisme ini berasal
dari dunia seni lukis pad paruh pertama abad ke 19 di Perancis.
Sementara itu H.B. Jassin menyebutkan
bahwa “ suatu lukisan yang impresiomistis kelihatannya seperti belum selesai.
Baru hanya skets. Segala sesuatu tidak dilukiskan pikiran-pikiran yang sudah
masak dipikirkannya,…..dia hanya mau melukiskan kesannya sepintas lalu, kesan
pertama yang segar “.
MELANKHOLISME
Aliran dengan karya-karya penuh warna
muram, sendu, kehidupan yang getir dan tragis, sarat ratapan dan rintihan.
Kisah cinta klasik, drama-drama dalam film India, cerita-cerita dengan tema
kemiskinan, kemalangan hidup dan penderitaan termasuk melankholisme. “ Di dalam
Lembah Kehidupan “, “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijk “, “ Di bawah Lindungan
Ka’bah “ karya Hamka, “ Buku Harian Seorang Penganggur “ dan
cerpen-cerpen serta drama-drama Muhammad Ali, puisi-puisi Amir Hamzah dalam “
Buah Rindu “, kebanyakan sanjak-sanjak Leon Agusta, merupakan sastra
melankholik. Lagu-lagu Rinto Harahap, Charles Hutagalung, Benny Panjaitan, A.
Riyanto bisa dimasukkan ke sini.
IRONISME
Aliran yang mementingkan nada mengejek,
kadang terus terang, kadang melalui sindiran-sindiran. Bisa juga, karya itu sebenarnya
merupakan kritik tajam terhadap kondisi sosial atau perilaku tokoh tertentu. “
Melaut Benciku “ Amal Hamzah, “ Kisah Sebuah Celana Pendek “ Idrus, beberapa
cerpen Hamsad Rangkuti dan “ Sumpah WTS “ dan “ Catatan Harian Seorang
Koruptor “ F. Rahardi merupakan contoh ironisme.
NIHILISME
Aliran yang mengekspos peristiwa atau
pemikiran-pemikiran, bisa saja sampai tingkat filsafat, tanpa landasan moral
kemanusiaan, apalagi Keilahian. Cerita-cerita yang ateistik, komunistik,
sekuleristik, chauvinistik bisa dimasukkan ke dalam fiksi nihilis. Ada memang,
cerita yang menghadirkan paham-paham penafian Tuhan, pemasabodohan agama dan
penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, misalnya “ Atheis “ nya Achdiat
Kartamihardja, tetapi karena tenden pengarang tidak ke sana sebagai justru
terlihat dalam sikap Achdiat yang mengkritik tokoh-tokoh ceritanya itu, maka
karangan tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam nihilisme.
NATURALISME
Aliran yang mementingkan pengungkapan
secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif.
Pengarang naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para penguasa atau
siapapun, dengan bahasa yang bebas dan tajam. Pornografi, karya mereka jatuh
menjadi picisan, bukan tabu bagi mereka. Biasanya, hal ini benar-benar mereka
sadari, bahkan mereka pun sempat membanggakan naturalisme ini sebagai gaya
mereka. Kumpulan sanjak F. Rahardi, “ Catatan Harian Sang Koruptor “ dan “
Sumpah WTS “, beberapa sanjak Rendra “ Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
“, “ Rick dari Corona “, “ Sajak Gadis dan Majikan “, Sajak SLA “ bisa ditunjuk
sebagai contoh pengibar aliran ini. Dari khazanah lama “ Surabaya “ nya Idrus
bisa digunakan sebagai contoh meskipun tidak seseru punya F. Rahardi dan
Rendra.
DETERMINISME
Istilah determinisme berasal dari doktrin
filsafat yang menyatakan bahwa setiap kejadian atau peristiwa itu ada
penyebabnya. Dalam sastra, determinisme mencoba menggambarkan tokoh-tokoh
cerita dikuasai oleh nasibnya, sehingga tokoh tersebut tidak sanggup dan tidak
mampu lagi ke luar dari takdir yang telah jatuh pada dirinya.
Takdir yang dimaksudkan di sini bukanlah
takdir dari Tuhan sesuai dengan konsepsi yang berlaku pada agama langit,
melainkan takdir yang lebih tepat dikatakan sebagai akibat yang tak dapat
dielakkan karena peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya, berupa faktor-faktor
biologis, lingkungan dan sosial.
H.B. Jassin menyatakan bahwa nasib itu “
ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar, kemiskinan, penyakit, darah
keturunan, dalam hubungan sebab akibat. Menurut ilmu keturunan, ayah atau ibu
yang jahat akan menurunkan sifat-sifat jahatnya pada anaknya atau cucu-cucunya,
biarpun keturunannya itu bermaksud baik, mau memperbaiki dirinya……….Apabila si
orang tua jahat, maka itu bukan pula karena sudah ditakdirkan Tuhan demikian,
tetapi karena keadaan masyarakat yang serba bobrok, orang hidup dalam
kemiskinan yang sangat, pembagian harta kekayaan antara manusia tidak adil “.
(contoh novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”
oleh Hamka)
Determinisme berpendapat bahwa tragedi hidup
manusia sudah tercetak dalam kemutlakan, merupakan paksaan nasib yang tak bisa
ditembus oleh segenap daya dan ikhtiar sang pelaku. Orang sadar dengan
kodratnya, sebagai wong cilik, sebagai hamba sahaya, sebagai sang kurban,
sehingga tidak akan banyak menuntut. Ia legawa-legalila nrima ing pandum
menerima suratan nasib, seperti yang terjadi pada Maria Magdalena Pariyem dalam
liris prosanya Linus Suryadi Ag. . Atau, seperti skenario semula, memang tragis
penuh tangis. Determinisme bisa dijumpai dalam “ Trilogi Oedipus “ nya
Sophokles, “ Tragedi Sangkuriang “, “ Pengakuan Pariyem “ nya Linus Suryadi AG,
novel “ Kuterima Penderitaan Ini, Ibu “ Motenggo Boesye, tokoh-tokoh
cerita Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Arifin C yang papa. (baca “Merahnya Merah”
dan “Kering” karya Iwan, “Pol” dan “Stasiun” karya Putu, “Mega-mega”,
“Kapai-kapai”, “Umang-umang” klarya Arifin.
SIMBOLISME
Pengungkapan simbolis tidak secara
harfiah, melainkan dengan simbol-simbol. Sebuah simbol berarti sesuatu yang
bermakna sesuatu yang lain. Bunga mawar sebagai simbol dari kecantikan.
Simbolisme merupakan aliran dalam sastra
yang mencoba mengungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan sugesti-sugesti
daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui objek-objek, kata-kata dan
bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap realisme dan naturalisme yang
hanya berpijak pada kenyataan semata. Sastra simbolik banyak menggunakan simbol
atau lambang dalam mengungkapkan pemikiran, emosi, secara samar-samar dan
misterius.
Karya simbolik terkadang sukar dipahami
dan hanya secara samar-samar ditangkap maknanya.
Penyair simbolik bahkan menyukai yang
samar-samar itu, oleh karena bagi mereka puisi harus merupakan teka-teki bagi
orang biasa, tetapi sebenarnya merupakan musik yang indah bagi yang dapat
menghayati dan menikmatinya. Puisi simbolik mencapai keindahannya dengan
mengungkapkan objek secara tidak langsung, secara sugestif, dan dengan
memperhitungkan efek musiknya yang mengandung makna.
Simbolisme, banyak menggunakan kata-kata
kias, lambang-lambang, kata-kata yang bermakna simbolik untuk melukiskan
sesuatu. Sesungguhnya, semua fabel (misalnya “Serial Kancil”, “Hikayat Kalilah
dan Daminah”) adalah contoh tepat simbolisme ini. “ Dengar Keluhan Pohon Mangga
“, karya Maria Amin,
“ Musyawarah Burung “ karya Fariduddin Attar, “ Kucing “ sanjak Sutardji Q.B.,
“ Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa “ karya Y.B. Mangunwijaya, “Ular dan
Kabut“ sanjak Ayip Rosidi, “Sebuah Lok Hitam“ puisi Hartoyo Andangjaya, hanya
sekadar contoh sastra simbolik ini.
IDEALISME
Aliran dalam kesusastraan yang
mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya penuh perasaan dan cita-cita.
Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk suatu perubahan sosial ke arah
yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya pengarang idealis,
diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca dari yang kurang
baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang malas menjadi
rajin, dan seterusnya.
Contoh : “Habis Gelap Terbitlah Terang“
karya R.A. Kartini;
“Layar Terkembang“ karya Sutan
Takdir Alisjahbana
“Kemarau“ karya A.A. Navis, cerpen “Kadis“
karya Muhammad Diponegoro.
Cerpen “Sisifus” karya Muhammad
Fudoli Zaini
HEROISME
Aliran yang mencuatkan nilai-nilai
kepahlawanan, kecintaan terhadap tanah air dan figur teladan bangsa, serta
semangat membela tanah air. “Bende Mataram“ karya Muhammad Yamin, “Diponegoro“
karya Chairil Anwar, “Monginsidi“ karya Subagio Sastrowadojo, “Tanah
Tumpah Darah“ karya Sitor Situmorang, “Stasiun Tugu“ karya Taufik Ismail,
“Ode bagi Proklamator“ karya Leon Agusta, dan tentu saja lagu kebangsaan
“Indonesia Raya“ dan lagu-lagu nasional “Ibu Kita Kartini“, “Satu Nusa Bangsa“,
“Padamu Negeri“, “Rayuan Pulau Kelapa“, juga lagu-lagu “Sepasang Mata Bola“,
“Melati Tapal Batas“, “Pantang Mundur“, merupakan contoh-contoh heroisme
ini. “Percikan Revolusi“ dan “Cerita-cerita dari Blora“ karya Pramudya serta
cerpen-cerpen revolusi Trisno Yuwono “Di Medan Perang“ dan “Laki-laki dan
Mesiu“ bisa dimasukkan ke sini. Heroisme pun kita temukan pada lagu-lagu
tertentu ciptaan Leo Kristi dan Gombloh almarhum.
RELIGIUSISME
Religiusme, aliran yang mementingkan
nilai-nilai keagamaan atau renungan tentang Tuhan dan manusia di hadapan-Nya.
Sastra religius dimiliki oleh setiap agama, juga oleh sastrawan yang punya
penghayatan personal terhadap Tuhan. “Gitanyali“ karya Rabindranath Tagore,
“Rindu Dendam“ karya Y.E. Tatengkeng, “Kata Hati“ karya
Samadi, beberapa sanjak Rendra dalam “Sajak-sajak Sepatu Tua“, “Balai-balai“,
“Sajadah Panjang“, “Aisyah Adinda Kita“ karya Taufik Ismail, “99 untuk Tuhanku“
karya Emha Ainun Najib, “Nyanyian Ibadah” karya Korrie Layun Rampan, cerpen “Di
dalam Kereta Api Perjalanan Hidup“ karya Riyono Pratikto, novel “Rindu Ibu
adalah Rinduku“ dan “Perempuan-perempuan Impian“ karya Motenggo Boesye, “Wirid“
karya Ikranegara, novel “Ibuku Sayang“ karya Teguh Esha adalah sekadar contoh
sastra religius yang bisa dijumpai.
TRANSENDENTALISME
Aliran yang mengetengahkan nilai-nilai
transendental, renungan-renungan hidup yang mendalam, yang metafisis (di atas
hal-hal yang fisik/nampak). Kalau sastra sufi merupakan katarsisme, maka sastra
aliran ini kebanyakan bersifat kontemplatif. Sanjak-sanjak Afrizal Malna dalam
“Abad yang Berlari”,
“Isyarat“ dan “Suluk Awang-uwung“ karya
Kuntowijoyo, cerpen-cerpen Danarto dan Hamid Jabbar, serta Ahmad Tohari,
sanjak-sanjak Umbu Langgu Peranggi dan Goenawan Mohamad, juga “Sejuta Milyar
Satu“ karya Eka Budianta, merupakan contoh Transendentalisme.
KOMEDIALISME
Penuh suasana ceria, kocak, menganggap
hidup penuh optimisme dan rasa humor, berbeda dengan determinisme dan
melankolisme yang pessimistis. Tetapi ia tidak identik dengan lawak. Gaya
bahasa Mahbub Junaidi dan Slamet Suseno, bahkan Y.B. Mangunwijaya dalam
“Puntung-puntung Rara Mendut“ mengacu ke sini. Drama “Tuan Kondektur“,
“Pinangan“, “Orang-orang Kasar“ karya Anton Chekov, “Kejarlah Daku kau
Kutangkap“ karya Asrul Sani, novel “Dari Hari ke Hari“ karya Mahbub Junaidi,
“Arjuna Mencari Cinta“ dan “Yudhistira Duda“ oleh Yudhistira Ardi Noegraha merupakan
sebagian contoh komedialisme.
Komentar
Posting Komentar